Pagi ini, saya mengikuti webinar kepenulisan yang diadakan oleh MPI PDM Kabupaten Bogor untuk membina kader-kader ortom agar bisa menjadi penulis dan juga menyebarkan narasi-narasi kebaikan ke publik.
Pemateri yang dihadirkan tidak tanggung-tanggung yaitu Yusuf Arifin atau Mas Dalipin, ia adalah salah seorang pendiri kumparan dan juga penulis yang sangat hebat. Sehingga saya menganggap webinar ini bukan kaleng-kaleng.
Pada webinar kali ini Mas Dalipin banyak bercerita tentang tantangan bagi media ataupun penulis di media sosial, lalu ia juga menceritakan bagaimana sepak terjangnya di dunia media. Acara ini sangat menarik ditambah moderatornya Mas Muflih mengemas pertanyaannya dengan keren seperti Karni Ilyas di ILC
***
Pada kesempatan ini, saya mencoba mengajukan pertanyaan kepada Mas Dalipin, kurang lebih seperti ini, “Mengapa tulisan membahas tentang kebucinan lebih banyak dibaca dibandingkan dengan tulisan-tulisan serius yang berbasis riset?”
Alasan saya menanyakan hal di atas tentu berdasarkan beberapa alasan. Awalnya begini, saya sebagai penulis pemula, sering mencoba menulis berbagai genre, karena saya belum memiliki latar belakang ahli untuk fokus terhadap satu tulisan.
Saya pernah menuliskan secara bersamaan tentang percintaan dan juga menanggapi isu yang berkembang saat itu. Harapan saya tentu, gagasan saya terhadap isu ingin banyak dibaca dan dibagikan orang lain agar bisa mempengaruhi suatu kebijakan pemerintah.
Namun, ternyata saya salah besar. Justru yang dibaca dan dibagikan oleh banyak orang adalah kisah pacaran saya dan sedikit gagasan tentang parenting. Bukan tulisan yang berdasarkan isu, pada akhirnya saya sedikit down karena memang apa yang saya harapkan tidak sesuai. Makanya saya mencoba bertanya kepada Mas Dalipin tentang fenomena tersebut.
Akhirnya Mas Dalipin menjawab, “loh sama, banyak media yang bingung terhadap fenomena kaya mas Fathin Sebutkan”, ia menjelaskan kita juga di kumparan sering terjadi hal-hal demikian, konten tulisan perceraian lebih banyak dibaca dibandingkan tulisan tentang banjir yang berbasis riset.
Tulisan perceraian yang dibuat selama 10 menit bisa dibaca lebih dari 300.000 pembaca dibandingkan tulisan tentang banjir yang dibuat berdasarkan riset dan ditulisnya dalam waktu cukup lama sekitar 2 minggu.
Namun kenapa demikian? Ya itulah akhirnya minat bacaan yang disukai masyarakat kita. Dan memang ini masih menjadi tantangan bagi media maupun penulis. Belum ada solusi atas fenomena-fenomena seperti ini.
Melihat jawaban mas Dalipin, tentu saya sepakat dengan jawaban beliau dan memang di era media sosial ini, beribu informasi bisa kita dapatkan dengan mudah melalui handphone. Dan saya harus mengamini karena saya menulis artikel ini menggunakan gadget juga.
Menurut saya, saat ini terlalu banyak informasi yang kita dapatkan, baik informasi receh, hoaks, bahkan informasi enggak jelas bisa kita dapatkan dalam hitungan detik. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang lelah karena terlalu banyak menerima informasi.
Makanya, ketika disajikan informasi yang berbasis riset, atau sifatnya membawa kebaikan jarang dibaca karena terlalu berat. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau baca, makanya tulisan-tulisan ringan yang sifatnya menghibur lebih banyak dibaca dibandingkan tulisan serius macam respons isu kebijakan publik
***
Lalu bagaimana agar tulisan yang serius-serius itu bisa dibaca oleh masyarakat? Saya mencoba berbagi pengalaman apa yang saya pernah tuliskan dan juga hasil mengikuti kelas-kelas penulis profesional.
Pertama begini, sebelum menulis, kita harus paham kondisi masyarakat kita di era digital seperti apa. Tentu ingin yang cepat, dibaca tidak perlu dalam waktu yang lama, tidak terlalu serius tapi mengandung gizi yang cukup banyak.
Selanjutnya, ubah tulisan kita menjadi narasi cerita, tulisan-tulisan serius yang kita buat, bisa kita ceritakan dengan bahasa yang sangat mudah dipahami, dan tentu isinya tidak terlalu panjang, cukup 500-1000 kata untuk ukuran di media online.
Berikutnya adalah konsisten. Sebagai penulis pemula, saya mencoba konsisten setiap pekan harus ada minimal satu tulisan terbit di media. Dan saya coba terus menerus satu tahun belakamgan ini, dan akhirnya perlahan pembaca tulisan saya meningkat. Tentu saya juga terus belajar untuk memahami kebutuhan bacaan masyarakat.
Lalu, fokus isu yang dikuasai. Biasanya menulis akan lebih mudah ketika kita menulis apa yang sudah kita tahu, apa yang kita sudah paham informasinya. Perlahan kita akan dianggap “ahli” ketika konsisten menulis pada isu yang kita kuasai.
Terakhir, tentu berlatih dan banyak membaca. Saya jamin, di manapun kita mengikuti kelas menulis, berapapun harganya, pasti mentornya akan bilang, seperti ini “kalau mau bisa nulis ya harus banyak baca dan berlatih, kalau tidak, ya tidak akan bisa”.
Kira-kira seperti itu tantangan dan sedikit pengalaman agar penulis-penulis pemula seperti saya ini muncul ke permukaan. Kalau belum diterima redaksi media online, ya cukup publikasikan di media sosial, karena tujuan kita menulis adalah dibaca orang bukan hanya disimpan.
Salam damai
Fathin Robbani Sukmana, Penulis tinggal di Bekasi