Saya mengenal Haji Anton Medan (Muhammad Ramdhan Efendi) pertama kali tahun 1992 ketika masih mahasiswa di Fakultas Dakwah IAIN Jakarta. Kami mengadakan seminar tentang premanisme di Jakarta dan mengundang beliau sebagai salah satu pembicara. Dari situ, saya mulai berkenalan dan sangat erat berkomunikasi dengan Haji Anton Medan.
Tahun 1997 ketika selesai kuliah, saya bersama seorang rekan teman sekelas di Fakultas Dakwah IAIN Jakarta bernama Naufal Ramadian (saat ini Sekretaris Umum PDM Kabupaten Bogor) yang sudah lebih dulu disana, diajak oleh Haji Anton Medan untuk mengelola dan mendirikan pesantren khusus preman dan mantan narapidana. Setelah dipilih nama Attaibin, kemudian didapatlah tempat yang sangat asri, pinjaman dari seorang habib di Cisarua Bogor untuk kemudian dijadikan pesantren.
Di sinilah saya mengenal lebih dekat Haji Anton Medan dan sepak terjangnya dalam menganut Islam. Ada alasan tersendiri kenapa Anton Medan mendirikan pesantren. Syahdan suatu waktu berbincang dengan guru spiritualnya yakni KH. Zaenudin MZ, seorang dai kondang, pernah memberi petuah pada Anton Medan.
“Ton, lu baru jadi kiai kalau lu punya pesantren dan santri”, kata Kiai Zaenudin MZ.
Maka Anton Medan yang saat itu belum lama masuk Islam, terobsesi ingin punya pesantren dan santri dan di Cisarua Bogor lah cita-cita itu bisa diwujudkan.
Banyak lika-liku dan jatuh bangun dalam membangun pesantren itu. Mengumpulkan santri yang notabene preman dan mantan narapidana, mencari pekerjaan buat mereka karena mereka sama sekali tidak bayar dan ditanggung kebutuhan hidup dan makannya. Sampai akhirnya Anton Medanlah yang pertama kali pasang spanduk di sepanjang jalur Puncak-Cianjur yang dikerjakan oleh santrinya sebagai pekerjaan sambilannya.
Saya yang pernah menjadi ustadz di pesantren itu mendapat jodoh karyawan perusahaan properti di Puncak yang menjadi nasabah Haji Anton Medan. Ada kisah lucu saat meyakinkan keluarga istri saya. Karena mereka takut kalau ternyata saya adalah preman dan mantan narapidana seperti yang dicap pesantren ini, saya sampai harus membawa ijazah don foto wisuda saya untuk meyakinkan keluarga istri saya. Sampai waktunya tiba saya diantar oleh Anton Medan dan santrinya dan menjadi saksi pernikahan saya.
Sampai akhirnya, Pesantren Attaibin pindah dari Cisarua Bogor ke Pondok Rajeg Cibinong dan berkembang di sana. Saya tidak lagi ikut dan bergabung dengan kegiatan pesantren, karena sudah berkeluarga.
Saya mendengar kabar wafatnya Haji Anton medan dari sahabat saya di Bogor. Kemudian saya teringat kembali sebuah kejadian yang mungkin banyak orang belum tahu. Tahun 1998 ketika terjadi awal demo dan anarki di Jakarta menjelang reformasi, Anton Medan menelpon saya di pesantren Cisarua karena beliau sedang di Jakarta. Pagi itu, beliau akan pergi ke pesantren menengok para santri.
Setelah ditunggu beberapa lama akhirnya beliau tiba di pondok dengan muka lelah dan panik dan meminta saya membereskan baju saya dan memasukkannya ke tas dan langsung mengajak saya pergi ke Sukabumi ,ke tempat tinggal saya, dan di jalan baru saya dapat cerita bahwa Haji Anton Medan baru saja terjebak di demo massa yang akhirnya membakar rumah om Liem (Sudomo Salim, pendiri Bank BCA) dan dia disangka sebagai penggeraknya, tak kurang dari Bambang Wijayanto dari YLBHI yang menjadi pembelanya.
Selamat jalan bang Anton. Saya sekarang bersama istri dan lima anak berdoa semoga Abang husnul Khotimah, Insya Allah perjuangan abang bernilai ibadah di sisi Allah. Aamiin.
Purwakarta, 15 Maret 2021
Mohamad Gofar
Ketua Umum PDM Kabupaten Bogor, Alumni Ustadz Attaibin